Kamis, 19 Oktober 2017

Sejarah 



Lahirnya tari pendet berawal dari ritual sakral Odalan�di pura yang disebut dengan mamendet atau mendet. Mendet dimulai detelah pendeta mengumandangkan mantra dan setelah pementasan topeng sidakarya. Tari ini dipentaskan secara berpasangan atau secara masal dengan membawa perlengkapan sesajen dan bunga.
Pendet disepakati lahir pada tahun 1950. Tarian Pendet ini masih tetap mangandung aura sakral-religius meskipun dipentaskan di sebuah acara non-keagamaan. Pada tahun 1961, I Wayan Beratha memodifikasi Tari Pendet hingga menjadi Tari Pendet yang sering kita saksikan sekarang. Beliau juga menambah penari Pendet menjadi 5 orang.
Setahun kemudian, 1962 I Wayan Beratha dan kawan-kawan menyajikan Tarian Pendet Masal yang ditarikan oleh 800 orang penari untuk ditampilkan di Jakarta dalam acara pembukaan Asian Games.

Kemudian pada tahun 1967, Koreografer Tari Pendet Modern I Wayan Rindi mengajarkan dan melestarikan tarian pendet kepada generasi-generasi penerusnya, selain Pendet, beliau juga mengajarkan dan melestarikan tari bali lainnya kepada keluarganya maupun lingkungan diluar keluarganya.

Sumber:wisatabaliutara.com
Sejarah Desa


Pada zaman dahulu kala, terbentuk beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam beberapa Padukuhan. Mereka mendiami wilayah kaki Gunung Batukaru dibagian barat. Masing – masing Padukuhan tersebut memiliki aturan – aturan, wilayah, serta cara sendiri – sendiri dalam bermasyarakat, maupun dalam berhubungan dengan Sang Hyang Pencipta ( Tuhan ). Sang Pencipta / Ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ), dengan sifat ke Maha Kuasaan Nya, menciptakan seseorang yang nantinya memiliki kekuasaan penuh dalam masyarakat, Warih Wengin begitu sebutannya. Warih artinya keturunan, Wengin artinya A Wengi yang berarti alam Niskala atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa           ( Tuhan Yang Maha Esa ). Beliau terlahir dalam sebuah keluarga yang menempati suatu Padukuhan yang terletak di daerah bagian hilir. Sejak saat itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Gunung Waringin.
Dari sanalah semuanya dimulai. Dengan segala kesaktian dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Beliau, mampu memikat hati masyarakat sehingga Beliau di angkat sebagai Pimpinan dengan sebutan Pacek, Paku, Pasek. Ke tiga sebutan tersebut, sama – sama memiliki arti Raja. Selanjutnya Beliau mulai menata Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang saat ini dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Dikisahkan Pasek hendak membangun Parahyangan. Pada saat itu Beliau melakukan Tapa Brata, Yoga Semadi. Dalam Semadinya, Beliau mendapat wangsit untuk membangun Kahyangan dengan menggunakan Batu Utama ( Bertuah ) sebagai dasar ( Sendi ). Dalam Semadi sehari – hari, diisyaratkan untuk mengambil batu dari sungai Yeh Kelih dan sungai Yeh Balian. Batu – batu tersebut, semuanya mengeluarkan sinar keemasan. Kemudian Beliau memerintahkan warga untuk mengambil batu – batu tersebut. Warga yang mengambil batu di sungai Yeh Balian merasa kelelahan karena batu tersebut merupakan Pustaka dan lebih berat dari batu – batu yang lain. Oleh karena itu diputuskan untuk beristirahat di bawah pohon cemara yang ada di cabangnya, dan batu – batu itu diletakkan di cabang pohon cemara tersebut. Ketika tenaga mereka sudah pulih kembali, mereka hendak mengangkat kembali batu – batu itu. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika hendak mengangkat batu – batu tersebut, karena batu – batu tersebut seolah – olah melekat pada cabang ( engsel ) pohon cemara tersebut.Dari kejadian – kejadian yang aneh tersebut, akhirnya wilayah tersebut diberi nama Batungsel yaitu tempat batu ma engsel. Dalam kurun waktu yang lama, kemudian pohon cemara itu tumbang, dan batu – batu yang melekat pada cabang pohon tersebut jatuh ke bawah. Ahirnya ditempat tersebut dijadikan Kahyangan yang disebut Pura Batur Cemara.Sumber:pupuan.tabanankab.go.id
Sejarah


Literatur tertua yang mengungkap tentang Baris adalah Lontar Usana Bali yang menyatakan : setelah Mayadanawa dapat dikalahkan maka diputuskan mendirikan empat buah kahyangan di KedisanTihinganManukraya dan Kaduhuran. Begitu kahyangan berdiri megah, upacara dan keramaianpun diadakan dimana para Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris dan Gandarwa menjadi penabuh. Legenda Mayadanawa tersebut terjadi pada saat Bali diperintah Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa sebagai raja keempat dari Dinasti Warmadewa yang memerintah dari tahun 962 hingga 975. Dengan demikian dapat disimak bahwa pada abad X sudah ada Tari Baris, namun bentuknya apakah sama dengan Baris upacara yang ada sekarang, memerlukan perenungan lebih mendalam.
Fungsi:
Untuk kepentingan upacara Pitra Yadnya dan bahkan juga untuk upacara Dewa Yadnya. Sebagian besar masyarakat menanggap tarian ini menjadi pengiring jenazah ke alam nirwana. Sementara tarian sakral itu lebih menonjolkan makna yang tersirat ketika para penari melakoninya.Para penari pun tak sembarangan menggerakkan tangan dan kakinya.
Sumber:panbelog.wordpress.com
Sejarah Tari Rejang Ayunan


Dulu sekitar abad XI di Desa Pupuan hanya terdiri dari 25 kepala keluarga. Desa Pupuan saat itu tidak seramai sekarang, di sekelilingnya hanya hutan belantara yang di tumbuhi pohon kayu yang besar dan tinggi, mereka bersepakat untuk menebang pohon kayu tersebut, yang mana tanahnya nanti akan dijadikan sawah dan ladang. Di dalam mereka menebang pohon kayu tersebut yang sangat besar dan tinggi, mereka mempergunakan tali atau ranting-ranting pohon untuk naik ke cabang pohon yang akan ditebang. Setelah selesai tanahnya diolah untuk di Tanami bermacam-macam tanaman seperti  padi, pohon kopi, dan buah-buahan yang hasilnya cukup mengembirakan.

Adapun rangkaian upacara sebelum piodalan di Pura Puseh Desa Bale Agung yaitu masyarakat desa mejejaitan, metanding banten upakara, mecaru, metelah-telah, mengelemeji, munggah bunga, mendak ngolemin ida betara diseluruh pura-pura di desa pupuan, mebiokaonan, kesucian /kebeji, katur sarining tetebasan, trisandya, rejang pulu,  nur ida betara, katur sarining soroan katuran Puseh Desa Bale Agung , mesandekan.

Pada hari ke-I, dilaksanakan Tari Rejang Penganyaran dudonane 3 kali, nganteb aturan karma banjar, mesandekan. Menunggu suara kentongan 3x karma desa kumpul di Jaba Pura Puseh Desa Bale Agung, untuk melaksanakan Peed. Para ibu membawa banten, sekaa truna truninya membawa pengawin dan pangkonan, untuk menyongsong Ida Betara (Pretima), diiringi dengan baleganjur dari masing-masing banjar, menuju ke pura Kayu Padi (Pura Duur Kauh), dilanjutkan upacara sampai dudonan upacara dan upakara di Pura Kayu Padi selesai.

Hari ke-II, kembali upacara dilaksanakan di Pura Puseh Desa Bale Agung dilaksanakan Rejang Ramped sebanyak 9x putaran dilanjutkan Rejang  oleh truna truni (lanang lan istri),dilanjutkan Rejang Ayunan 2x putaran laki-laki dan perempuan , dilanjutkan 1 putaran lagi untuk laki-laki melakukan rejang ayunan, setelah selesai dilaksanakan Tari Rejang Ayunan dilanjutkan dengan mesandekan, lalu malam hari nya diadakan suatu hiburan dan balih-balihan (penyuung).
Hari ke-3 dilaksanakan upacara yang terakhir, lebar karya yang merupakan mengundang Ida Sesuhunan untuk menyaksikan upacara dan langsung memohon Wara Nugraha agar semua mendapatkan kekuatan dan kebahagiaan.

Fungsi dari Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan

Tari Rejang Ayunan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Bale Agung. Karena tanpa tarian ini upacara dianggap kurang sempurna. Di lihat dari segi fungsinya tari tarian dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

a)Tari Wali (sacral, religious dance )

Seni yang dilakukan di pura-pura dan di tempat yang ada hubungannya dengan upakara dan upacara agama yang pada umumnya tidak memakai lakon/peran.

b)Tari Bebaki ( ceremonial dance )

Segala seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara di pura-pura ataupun di luar pura, cerita pada umumnya memakai lakon.

c)Tari Balih-balihan ( secular dance )

Sumber:http://blog.isi-dps.ac.id
SEJARAH DESA PUJUNGAN

Pada masa Pemerintahan Ida Sri Jaya Bali yang memerintah Bali , diceritakan bahwa beliau bermaksud mengembangkan Daerah Kekuasaannya dibagin Barat Pulau Bali,maka diutuslah dua orang patihnya yang bernama I Pasek Kayu Selem clan I Pasek Kerandan atau I Pasek Auman yang tinggal di Desa Batur Penulisan untuk menjelajah Daerah – Daerah yang tidak berpenghuni. Dalam perjalanan dua orang patih tersebut memerintahkan pengikutnya untuk membuat tempat peristirahatan berupa sebuah bangunan yang terbuat dari batu clan bata disebelah barat kaki Gunung Batukaru.
Dalam usaha memperluas Daerah kekuasaan Ida Sri Jaya Bali ,kedua Patih tersebut beserta dengan pengikutnya telah menjelajah daerah – daerah yang memungkinkan untuk mengembangkan Kerajaan
. Berjalan kesebelah utara ( sekarang Desa Wanagiri) menuju kebarat ( sekarang Desa Gobleg dan Banjar ),Kesebelah Timu 9 Sekarang Desa Soka sampai Pulukan ), kesebelah Selatan dari Tukad Pulukan sampai Desa Kali Kunyit dan kesebelah Barat sampai ke Desa Tukad Semaga dan kembali lagi ketempat persinggahan awalnya di Gunung Batukaru. Merasa cukup lama perjalanan clan melelahkan , maka tempat Peristirahatan ini menjadi sebuah tempat tinggal tetap yang diberi nama Pujunga Sari.
Kedatangan dua orang patih Raja Sri Jaya Bali beserta para pengikutnya yang singgah di Gunung Batukaru sambil membuka hutan juga mendirikan sebuah pedukuhan atau pasraman untuk tempat pemujaan leluhur. Mendengar perkembangan perjalanan patih I Pasek Kayu Selem dan I Pasek Auman, maka tertarik niat Raja Ida Sri Jaya Bali untuk dating ke Pedukuhan di Pujung Sari dengan mengajak Permaisurinya asal Negeri Cina yang diberi nama Sri Kama Ratih yang tidak dianugrahi Putera. Di Pujung Sari beliau hanya sesaat karena beliau dipanggil kembali untuk melanjutkan Tahta kekuasaannya Ayahanda dan mempersunting la,.pi seorang Putri bernama Dewi Danu. Dalam perkawinan inilah beliau dianugerahi dua orang putera yang bernama sri Mayadana dan Putra yang kedua diberi nama Sri Ugrasena atau dengan nama lain Sri Arya Dalem Karang.
Mengingat daerah kekuasaannya di Pujung Sari, beliau mengutus putra keduanya Sri Arya Dalem Karang memimpin di Pujunga Sari bersama kedua patihnya. Masa Pemerintahan Sri Arya Dalem Karang diperkirakan pada tahun Isaka 867 (945 M ) sampai akhir hayatnya.
Setelah wafatnya Sri Arya Dalem Karang , maka Sri Jaya Bali mempercayakan kepada kedua patihnya untuk menguasai daerah kekuasaan tersebut. Keturunan kedua Pepatih ini berkembang sedikit demi sedikit. Pasek Kerandan memusatkan Pemerintahannya disebelah Selatan dengan memegang penuh amanat Raja dan Pasek Kayu Selem dipercaya memegang kekuasaan di Pujung Sari sekarang.

Sumber:pupuan.tabanankab.go.id
Sejarah Desa Pupuan
Berbicara tentang sejarah singkat Desa Pupuan, terlebih dahulu kami mencoba untuk mengutarakan PUPUAN dari segi asal kata yaitu : PUPUAN berasal dari kata PUPU yang artinya : PAHA, kemudian diberi imbuhan AN, maka menjadi PUPUAN.
Pengertian PAHA ini sesuai letak / Denah Desa Pupuan ini adalah merupakan Paha dari Gunung batukaru.
Kemudian ada juga yang menyebutkan nama Desa Pupuan, ini berasal dari kata PLUPUHAN yangberarti KUBANGAN .dilihat dari topografinya tepatlah bahwa Desa Pupuan itu berasal dari Kata Plupuhan, atau dengan kata lain Desa Pupuan dikelilingi oleh dataran tinggi.
Pupuan yang terletak didataran tinggi dengan luas wilayah 5,25 Ha yang terdiri dari 5 Banjar Dinas dan 5 banjar Adat serta 1 Bendesa Adat yang merupakan Desa Tua yang masih melaksanakan tata kehidupan dan upacara – upacara adat yang unik misalnya : setiap Purnamaning Kapat di Pura Kahyangan Puseh melaksanakan Upacara Piodalan dengan menampilkan tarian Rejang Deha Teruna.
Kemudian sebagai kami sebutkan diatas maka hal tersebut terdapat dalam isi tulisan Prasasti bantiran yang terbuat dari Tembaga Wasa, yang saat ini disimpan / disungsung di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung.
Dalam Prasati tersebut dituliskan pada abad II ( Tahun caka 923 / tahun 1072 M dengan bahasa zaman Peralihan Bali Kuna, ke Jawa Kuno bahwa Desa Pupuan itu sudah ada, yang jelasnya kami akan sebutkan beberapa lembar dari Prasasti dimaksud :
Ing Caka 1072 Cetramasa, Tithi Dwadeca Cuklapaksa,Ta,Wa,Wr Waraning Julung Pujut irika dewasanire Paduka Cri Maharaja Jaya Sakti Umajari para senapati mekadi rakyan Apatih Umingsor I Tanda Rakyan Ri Pakiran I Jro Mekabehan Kerusan Mpengku Cewasegata masabrahmana I Pingsor nyajna paduka Cri Maharaja Ajaren sire kabeh Ri Gatinikang keramani Bantiran Apasapara pawongannya magil mare Tha Ni Salen kari Masesa sakuren atunggu karaman makanimitta kabyatan hutang lumud tan Kawasedenia ngisya drwya haji mwang pinta panumbas ri nayakanya ya tika sampun inusadan denire kabeh sumrahaken pandaksayanye kangenangen pawa lara prih sakitnya de Ibu ni Paduke cri Maha raja apan purih kadfi sire Prabu saksat Hari Murti Jagadhita karuna umittisakaparipurnakna nikang rat rinaksadenira matangnyadawuh anugra paduka Cri Maharaja .
Artinya:
Pada tahun caka 1072, bulan Cetra, tanggal Dua belas Bulan Paro Terang , hari tinggleh Wager kemis Wuku Julung Pujut, pada hari itulah Sri maharaja Jayasakti ( Bima sakti ) memerintahkan parasenapati , terutama rakyan apatih kemudian para tanda rakyan didalam paseban terutama para Pendeta Siwa dan Budha , mahabrahmana, berikut amanat sri paduka Maharaja menerangkan kepada sekalian itu yang isinya tentang peristiwa penduduk Desa Pupuan keadaanya pecah belah antara penduduk itu ada yang pergi terus tinggal diDesa lain, yang hingga kini sisa dari penduduk itu masih satu keluarga saja yang tinggal menetap di Desanya.Oleh karena itu maka mereka sangat berat menanggungnya ,serta mereka tidak sanggup akan membayar pajak Drewyahaji dan iuran iuran yang dipungut oleh para Nayakannya. Hal ini sudah dibebaskan oleh sri Baginda, karena baginda terasa belas kasihan kepada kesusahan dan kesedihan masyarakat yang kecil itu.lebih lebih karena Baginda itu sebagai penjelmaan Sanghyang Wisnu ( Hari ) yang selalau mengamankan Negara dan berbelas kasihan serta selalu menyempurnakan keadaan negaranya yang dikuasainya. Dan itulah baginda memerintahkan Penduduk Desa Pupuan itu sekalian taklukannya, deberikan sebuah piagam keputrusannya, yang isinya antara lain : Membebaskan Hutang Piutang Prihawak , iuran – iuran dan Hutang Naik Turun selama 5 tahun. Selama 5 tahun itu mereka tidak dipersalahkan dan tidak boleh ditahan serta disiksa dengan duri belatung dan juga tidak boleh dilaporkan kedalam pura.tetapi setelah 5 tahun lamanya barulah mereka kena iuran permulaan sebagai biasa, sebanyak 4 masaka setiap hutangnya yang satu Tabil, dan tidak boleh dilipat dan tidak boleh dikenai iuran – iuran setiaphari,Tidak Kena PancaGina , hutang – hutangnya itu tidak kena iuran Panusurtulis dan iuran Pembeli Sayub. Apabila ada salah seorang penduduk Desa Pupuan mempunyai hutang hutang Prihawak, hal itu tiada dibenarkan oleh isi isi Piagam keputusan ini.
Sumber:pupuan.tabanankab.go.id

Selasa, 17 Oktober 2017

Menurut legenda, pohon Taru Menyan ini dulu baunya sampai tercium hingga Keraton Solo yang jaraknya beratu-ratus kilometer dari Bali. Karena bau wangi itulah, empat bersaudara dari Keraton Solo mencoba untuk mencari sumbernya. Hingga empat bersaudara yang terdiri dari satu perempuan dan tiga anak laki-laki itu rela mengarungi daratan hingga ganasnya lautan untuk bisa menemukan sumber bau tersebut. Pada akhirnya mereka sampai pada Desa Trunyan dan menemukan sumber bau yang sangat harum tersebut. Dimana bau yang harum itu bersumber dari pohon besar yang bernama Taru Menyan.


Namun setelah menemukan sumber bau wangi tersebut, kakak sulung dari empat bersaudara itu justru jatuh cinta pada seorang Dewi yang menjadi penunggu pohon Taru Menyan. Tak berselang lama, kakak sulung tersebut akhirnya menikahi sang Dewi. Setelah menikah, hadirlah sebuah kerajaan kecil yang letaknya persis ditepi danau Batur, tempat pohon itu tumbuh. Meskipun sang Dewi telah menikah, namun pohon Taru Menyan masih terus mengeluarkan bau yang sangat harum. Karena takut diserang oleh kerajaan lain karena bau semerbak dari pohon Taru Menyan, maka sang Raja memerintahkan penduduk kerajaan menghilangkan bau wangi dengan cara meletakkan beberapa jenazah tepat dibawah pohon tersebut. Cara itu ternyata berhasil, karena pohon Taru Menyan sudah tak mengeluarkan bau wangi dan jenazah yang ada dibawah pohon itu juga tak mengeluarkan bau busuk.

Sampai saat ini masyarakat Desa Trunyan masih melakukan pemakaman dengan cara meletakkan jenazah begitu saja dibawah pohon Taru Menyan. Namun yang dimakamkan di tempat tersebut hanyal orang yang berhati mulia.

sumber:http://www.terseram.com

Popular Posts